Resensi Buku Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Dr. Sabian Utsman, Drs., S.H., M.Si



Judul
: Dasar-Dasar Sosiologi Hukum (Makna Dialog Antara Hukum Dan Masyarakat)
Pengarang
: Dr. Sabian Utsman, Drs., S.H., M.Si
Pengantar
: Prof. H. Soetandyo Wignjosoebroto, M.PA.
Penerbit
: Pustaka Pelajar
Tahun Terbit
: Cetakan 1, April 2009
Halaman
: i-xxiv + 406 Halaman
ISBN
: 978-602-8300-92-6

          Buku ini ditulis oleh salah satu dosen IAIN Palangka Raya, yaitu bapak Sabian Utsman. Buku ini diberi judul “Dasar-Dasar Sosiologi Hukum” ditulis dengan tujuan oleh penulisnya untuk memenuhi kebutuhan para mahasiswa/i yang memprogramkan mata kuliah Sosiologi Hukum.

Saya suka buku ini karena buku ini sangat mudah dipahami untuk para pemula seperti saya walaupun buku ini belum sepenuhnya memberikan gambaran yang lengkap dan utuh apalagi menyeluruh untuk menguraikan pokok-pokok sosiologi hukum akan tetapi paling tidak berupaya membantu mahasiswa/i yang sedang memprogramkan mata kuliah Sosiologi Hukum (baik S1, S2, maupun S3), Advokat, Stakeholders Pembangunan, Pemerhati Hukum, serta cocok dimiliki siapa saja yang tertarik dan mempunyai talenta serta ambisi yang kuat untuk mendalami hukum secara komprehensif. Buku ini sangat bermanfaat bagi seseorang yang mengambil jurusan Hukum.

Buku ini akan membahas mengenai Konsep Dasar Sosiologi Hukum, Kegunaan Teori dan Sosiologi Hukum sebagai Alat Memahami Perkembangan Masyarakat, Dasar-dasar Sosiologi Hukum, Studi dan Pemikiran Hukum, Anatomi Sosial dan Hukum, Hukum dan Perubahan Sosial serta Interaksi Antara Hukum Negara, Manusia, Kerja, dan Hukum, Problematika Berhukum di Indonesia, Penelitian Sosiologi Hukum, dan Proposal Penelitian Hukum (Legal Research).

Desember 05, 2018   Posted by Unknown with No comments
Read More

Kelompok VIII
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pembimbing : Ali Murtadho, S.Ag., M.H.

Disusun oleh

NOVITA SARI
1702140017


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS SYARI’AH
HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH SYAR’IYYAH)
TAHUN 2018 M / 1439 H

بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kita panjatkan kepada ALLAH SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan tidak lupa pula shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang-benderang. Adapun makalah yang akan dibahas yaitu dengan judul “Hubungan Agama Dan Negara”. Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan guna penyempurnaan makalah ini dan sebagai bahan acuan untuk kedepannya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yakni, bapak Ali Murtadho, S.Ag., M.H. atas ketersediaan menuntut penulis dalam penulisan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah ikut berpartisipasi dalam penyusunan dan pengumpulan data makalah ini. Tanpa bantuan dan dukungan dari teman-teman semua maka makalah ini tidak akan terselesaikan dengan tepat waktu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Palangkaraya, 2018



Penulis





PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai agama dan negara merupakan hal yang menjadi topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan beragama menjadi pilihan bagi warganya karena hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Namun dalam menjalankan kehidupan bernegara, menghubungkan antara agama dan negara menjadi polemik di antara berbagai pihak yang lain.
Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah mempengaruhi berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra pertengahan negara berjalan di bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan telah terjadi pemisahan antara agama dan negara.
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami permasalahan mengenai hubungan agama dan negara. Munculnya kaum–kaum yang menuntut pemerintahan Islam juga menjadi hal yang harus dapat ditangani oleh bangsa ini.

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah, sebagai berikut:
1.      Bagaimana Definisi Agama dan Negara?
2.      Apa Hubungan Agama dan Negara?
3.      Mengapa Manusia Perlu Agama dan Bernegara?
4.      Bagaimana Konsep Relasi Agama dan Negara dalam Islam?
5.      Bagaimana Hubungan Islam dan Negara di Indonesia?

Sesuai dengan permasalahan diatas, maka tujuan yang dicapai dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Agar mengetahui dan memahami Definisi Agama dan Negara.
2.      Agar mengetahui dan memahami Hubungan Agama dan Negara.

3.      Agar mengetahui dan memahami Manusia Perlu Agama dan Bernegara.
4.      Agar mengetahui dan memahami Konsep Relasi Agama dan Negara dalam Islam.
5.      Agar mengetahui dan memahami Hubungan Islam dan Negara di Indonesia.

Mengingat  begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas, maka penulisan membatasi pembahasan ini sesuai dengan materi yang terdapat dalam rumusan masalah pada makalah ini. Adapun hal yang tidak berhubungan dengan rumusan masalah diatas penulis tidak uraikan pada makalah ini.

Adapun metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini yakni dengan metode penelusuran dan pencarian buku-buku yang ada di perpustakaan (library research) dan penelusuran di internet (web research).











PEMBAHASAN
1.  Definisi Agama
Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan. Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam bahasa Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan, untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk diskriminasi buruk.
Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib tersebut.[1]
Eka Darmaputera mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan sebuah kenyataan manusiawi yang dapat difungsikan sebagai ideal type. Ketika agama terperangkap kepada

institusionalisme, yakni terjadinya penekanan dan pemusatan kepada dimensi kelembagaan atau institusional suatu agama, sehingga upaya penguatan dan pengembangan institusional menjadikan agama semakin kuat, semakin berkuasa, dengan demikian, maka agama akan mudah sekali terjebak dalam sindrom mayoritas maupun minoritas.[2]
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionilnya walaupun idenya kabur.
J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu bahwa agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan upacara­upacara yang simbolis maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Beberapa definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya cakupan agama dan sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup banyak. Hal ini di samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli terhadap agama, juga menunjukkan bahwa merumuskan pengertian agama itu sangat sulit sehingga tidak cukup satu pengertian saja.[3]
2.  Definisi Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata tersebut berasal dari bahasa latin status atau statum  yang memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap. Pengertian status atau station (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup antar manusia yang disebut dengan istilah status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita – cita untuk bersatu, hidup di suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat, yaitu masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.[4]
Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :
1)  Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau  authority (wewenang) yang mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2) Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau manusia yang hidup bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan – keinginan mereka bersama.
3) Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.[5]
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat  pada peraturan perundang – undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah.[6] Dalam konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan dan sebagai makhluk sosial.
Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi 2 :
1.      Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Antagonistik
Maksud hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat.Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan.Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.Akibatnya, aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.
Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987). Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.
2.      Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik ( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam.Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:
1)  Struktura, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.
2)  Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.
3) Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
4)  Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.[6]
Dewasa ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk dapat mengakhiri hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan beragama yang penuh dengan perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan mencintai sebagai umat manusia yang beradab.
Pancasila telah memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini, negara memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.
Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.[7]
1.      Paham Teokrasi
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama karena pemerintah. Menurut paham ini dijalankan berdasarkan menurut firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyrakat, bangsa dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga sebagai manifestasi Tuhan.
2.      Paham Sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler, tidak dapat dipisahkan.
Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya dianggap sebagai sekuler. Hal ini dikarenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi keagamaan tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini.
Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia, dan oleh karena itu dipisahkan dari masalah-masalah pemerintahan dan pengambilan keputusan.
Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah Ateisme, banyak para Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen penting dalam ideologi Humanisme Sekuler.
Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekularisasi adalah hasil yang tak terelakkan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjauh dari agama dan takhayul.
Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai arogan, mereka membantah bahwa pemerintaan sekuler menciptakan lebih banyak masalah dari pada menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah lebih baik. Penentang dari golongan Kristiani juga menunjukkan bahwa negara Kristen dapat memberi lebih banyak kebebasan beragama daripada yang sekuler. Seperti contohnya, mereka menukil Norwegia, Islandia, Finlandia, dan Denmark, yang kesemuanya mempunyai hubungan konstitusional antara gereja dengan negara namun mereka juga dikenal lebih progresif dan liberal dibandingkan negara tanpa hubungan seperti itu. Seperti contohnya, Islandia adalah termasuk dari negara-negara pertama yang melegal kan aborsi, dan pemerintahan Finlandia menyediakan dana untuk pembangunan masjid.
Namun pendukung dari sekularisme juga menunjukkan bahwa negara-negara Skandinavia terlepas dari hubungan pemerintahannya dengan agama, secara sosial adalah termasuk negara yang palng sekuler di dunia, ditunjukkan dengan rendahnya persentase mereka yang menjunjung kepercayaan beragama.
Komentator modern mengkritik sekularisme dengan mengacaukannya sebagai sebuah ideologi antiagama, ateis, atau bahkan satanis. Kata Sekularisme itu sendiri biasanya dimengerti secara peyoratif oleh kalangan konservatif. Walaupun tujuan utama dari negara sekuler adalah untuk mencapai kenetralan di dalam agama, beberapa membantah bahwa hal ini juga menekan agama.
Beberapa filsafat politik seperti Marxisme, biasanya mendukung bahwasanya pengaruh agama di dalam negara dan masyarakat adalah hal yang negatif. Di dalam negara yang mempunyai kepercayaan seperti itu (seperti negara Blok Komunis), institusi keagamaan menjadi subjek di bawah negara sekuler. Kebebasan untuk beribadah dihalang-halangi dan dibatasi, dan ajaran gereja juga diawasi agar selalu sejalan dengan hukum sekuler atau bahkan filsafat umum yang resmi. Dalam demokrasi barat, diakui bahwa kebijakan seperti ini melanggar kebebasan beragama.
Beberapa sekularis menginginkan negara mendorong majunya agama (seperti pembebasan dari pajak, atau menyediakan dana untuk pendidikan dan pendermaan) tapi bersikeras agar negara tidak menetapkan sebuah agama sebagai agama negara, mewajibkan ketaatan beragama atau melegislasikan akaid. Pada masalah pajak Liberalisme klasik menyatakan bahwa negara tidak dapat "membebaskan" institusi beragama dari pajak karena pada dasarnya negara tidak mempunyai kewenangan untuk memajak atau mengatu agama. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kewenangan duniawi dan kewenangan beragama bekerja pada ranahnya sendiri-sendiri dan ketka mereka tumpang tindih seperti dalam isu nilai moral, kedua- duanya tidak boleh mengambil kewenangan namun hendaknya menawarkan sebuah kerangka yang dengannya masyarakat dapat bekerja tanpa menundukkan agama di bawah negara atau sebaliknya.
3.      Paham Komunisme
Paham komunisme memandang hakikat hubungan negara dengan agama berdasarkan pada filosofi materalisme dialektis dan meterialisme historis. Paham ini menimbulkan paham atheis, yang berarti tidak bertuhan. Paham yang dipelopori oleh karl Max ini, memandang agama sebagai candu masyarakat (Marx, dalam Louis Leahy, 1992). Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama dalam paham ini, dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.
Dari beberapa paham di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa paham sekuler dan komunisme memiliki kesamaan persepsi yaitu pemisahan agama dengan negara. Bahkan paham komunis meniadakan agama, sebab baginya agama adalah candu. Paham ini jelas berlawanan dengan paham teokrasi yang menganggap bahwa agama dan negara tak dapat dipisahkan. Adapun dalam Islam sendiri terdapat perbedaan pandangan antara penyatuan agama dengan negara serta pemisahan keduanya.[8]

1.      Manusia Perlu Beragama
Manusia, secara kodrati menyadari bahwa di luar dirinya ada kekuatan, dimana manusia dan alam sekitarnya tak kan mampu menandingi kekuatan itu. Segala sesuatu tidak dapat manusia tentukan sendiri dan mengabulkannya, tapi mereka berharap pada sesuatu yang pasti akan memberikan peluang harapan. Pengakuan seperti inilah yang disebut dengan kepercayaan atau iman. Sedangkan macam kepercayaan maupun agama yang sudah turun menurun dan membudaya membuat manusia memilih kepada apa atau siapa mereka beriman. Keadaan ini menjadikan manusia untuk beragama.
Tak dapat dibayangkan jika manusia tidak mengenal agama sama sekali. Sama artinya dia tidak akan menemukan  kebahagian dan kedamaian hidup, tidak ada aturan dan norma yang membatasi tingkah laku. Niscaya sulit untuk dibedakan dengan hewan.
Kesimpulannya adalah manusia beragama karena memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dengan agama manusia mendapatkan nilai-nilai moral yang universal dan hal-hal yang tak dapat dicapainya dengan akal.
2.      Manusia Perlu Bernegara
Secara terminologi, negara adalah organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di wilayah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan dari definisi oleh Roger H. Soltau, negara tersebut bersama dengan alat atau wewenang yang mengatur persoalan bersama atas nama rakyat. Oleh sebab itu bernegara dengan baik menjadi sangat urgen atau mendesak bagi setiap warga negara.
Manusia sebagai makluk sosial, ia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan untuk dapat memenuhi kebutuhannya, baik materi atau non-materi. Manusia yang sudah begitu banyak jumlahnya, tak bisa dikendalikan lagi laju perkembangannya, secara tidak langsung menuntut adanya aturan yang disepakati dan ditaati serta seorang pemimpin. Begitu pula pembagian tugas sepaya tidak ada tumpang tindih satu sama lain. Selain itu mereka juga membutuhkan seseorang yang memiliki otoritas guna melakukan tindakan tertentu jika terjadi sesuatu dengan mereka. Dia juga harus sekaligus mampu menjadi penengah atas semua konflik yang terjadi. Inilah yang mereka sebut sebagai raja atau kepala Negara.
Kesimpulannya adalah bahwa manusia tidak dapat hidup dengan teratur, tertib dan terjamin keamanannya tanpa adanya negara. Karena pada hakikatnya, dalam komunitas sekecil apapun diperlukan adanya pemimpin dan aturan.
Salah satu wacana yang terus diperbincangkan dalam ranah filsafat politik Islam adalah mengenai relasi antara agama dan negara. Secara garis besar paling tidak ada tiga paradigma pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Pertama, paradigma sekularistik, yang mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Kedua, paradigma formalistik, yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang mencakup segala-galanya, termasuk masalah negara atau sistem politik. Ketiga, paradigma substansialistik, yang menolak pendapat bahwa Islam mencakup segala-galanya dan juga menolak pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dan Penciptanya semata.[9]

Silang perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata kehidupan sosial-politik, setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia mendapatkan anugerah kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat aturan dan sistem yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, beberapa pemimpin umat Islam berupaya mendesakkan syari`at Islam untuk diterapkan. Tuntutan itu pun sempat terakomodir.
Tapi, tuntutan yang semula terakomodir dengan perkataan… “dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya… “ yang tertuang di mukadimah dan pasal 29 UUD 1945 ternyata tidak berlangsung lama. Pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah melewati saat-saat kritis, perkataan itu pun dicoret. Meski kemudian modifikasi sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat dikata jadi jalan tengah yang diilhami dari konsep tauhid tapi wakil-wakil umat Islam masih merasa keberatan dengan formula baru Pancasila.
Usai pemilu 1955, tuntutan untuk memperjuangkan dasar negara Islam seperti mendapatkan momentum kembali. Sejarah mencatat, sidang Majelis Konstituante di bawah kepemimpina Ir Soekarno untuk menentukan dasar negara Islam atau pancasila, tak mencapai keputusan final. Perdebatan sengit selama sidang antara partai-partai Islam dan pendukung Pancasila dalam mengokohkan dasar negara                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     menemui jalan buntu. Selama kurang lebih dua puluh bulan tidak ada kata sepakat. Konstitusi menemui jalan buntu serius.
Di tengah kebuntuan itu, Soekarno sebagai penguasa yang didukung militer lalu melakukan intervensi. Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit Presiden itu, Soekarno membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali UUD 1945 dan menyingkirkan usulan dasar Islam. Tentu, rekam jejak saat-saat genting perdebatan sidang Majelis Konstituante tentang dasar negara itu sangat menarik untuk dicermati.
Buku Ahmad Syafi`i Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam “perdebatan antara wakil-wakil partai Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan wakil partai nasionalis yang mendukung Pancasila. Buku terjemahaan dari desertai penulis di Chicago Universy ini, cukup kompatibel jadi referensi tentang perdebatan sengit dasar negara Indonesia dalam sidang Majelis Konstituante.
Dalam Majelis Konstitusi, pada awalnya ada tiga rancangan (draf) tentang dasar negara yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiga rancangan itu adalah; Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi (diajukan Partai Murba dan Partai Buruh). Tetapi, draf Sosial Ekonomi tersebut seperti kehilangan gaung. Sementara perdebatan sengit dari wakil partai Islam –yang menginginkan Islam sebagai dasar negara- dan partai nasionalis yang mendukung Pancasila mewarnai sidang.
             Wakil dari partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai dasar negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi saat membangun Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di masa nabi itu kerap tidak dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang berada dalam dimensi Islam sejarah. Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur Rahman, antara Islam cita-cita dan dan Islam sejarah, “Harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin.”
              Umat Islam Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar dari mereka di mata Syafi`i masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi –sekali pun tak berhasil— perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam.
             Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai dasar negara di bumi Indonesia.
Sayang, konteks Indonesia yang kemudian menjadikan Pancasila sebagaimana digagas untuk merangkup kebhinnekaan nusantara itu lebih menguat di bawah tangan Soekarno. Soekarno yang sedari awal memuja sekularisme Turki, membubarkan Sidang Konstituante yang waktu itu tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan Dekrit itu, Indonesia mengukuhkan sistem politik baru --dikenal dengan Demokrasi Terpimpin –sehingga tertutup pintu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Keinginan membumikan negara Islam itu, semata-mata dilatarbelakangi beban sejarah untuk mengembalikan “harkat dan martabat umat Islam” yang terpuruk akibat penindasan politik dan ekonomi Barat. Sayang jihad melawan Barat itu bukan membuat Islam menjadi cemerlang, melainkan justru mendapat citra yang kian jauh darai kesan damai karena Islam ditengarai agama yang tidak membawa misi kemanusiaan.[10]
















PENUTUP
            Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan. Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
            Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi 2.
Terdapat 3 faham hubungan agama dan Negara yaitu : Paham Teokrasi, Paham Sekuler, Paham Komunisme.
Manusia, secara kodrati menyadari bahwa di luar dirinya ada kekuatan, dimana manusia dan alam sekitarnya tak kan mampu menandingi kekuatan itu. Segala sesuatu tidak dapat manusia tentukan sendiri dan mengabulkannya, tapi mereka berharap pada sesuatu yang pasti akan memberikan peluang harapan. Secara terminologi, negara adalah organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di wilayah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Salah satu wacana yang terus diperbincangkan dalam ranah filsafat politik Islam adalah mengenai relasi antara agama dan negara. Secara garis besar paling tidak ada tiga paradigma pemikiran tentang hubungan agama dan negara.
Silang perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata kehidupan sosial-politik, setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia mendapatkan anugerah kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat aturan dan sistem yang dimiliki oleh

bangsa Indonesia, beberapa pemimpin umat Islam berupaya mendesakkan syari`at Islam untuk diterapkan. Tuntutan itu pun sempat terakomodir.

            Penulis menghimbau kepada rekan-rekan sekalian agar mencari lebih luas pembahasan tentang “Hubungan Agama Dan Negara”, apabila didalam pembahasan ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam hal penyampaian secara presentatif maupun secara tekstualis maka penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan pembaca sekalian.
            Dengan terbentuknya makalah ini kami harap dapat bermanfaat bagi kita semua dan juga dalam kehidupan kita. Kemudian juga kita dapat mengambil hikmah atas nilai yang terkandung dari pembahasan tersebut. Dan juga kritik dan saran dari pembaca sekalian untuk menjadi motivasi bagi kami untuk membuat makalah yang lebih baik kedepannya lagi apabila diperlukan.















Djalaludin H., Psikologi Agama, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004.
Darmaputera, Eka, Agama sebagai kekuatan Moral bagi proses Demokratisasi, dalam Agama dan Demokrasi, Jakarta: P3M, 1994.
Rozak, Abdul, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

Budiarjo, Miriam, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987.

Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, Yogyakarta: LKIS, 1999.

Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas Kritis dan Aktif Berwarganegara, Jakarta: Erlangga, 2010.
Ismatullah, Deddy, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.
Rahman, Hainur, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html. (Diakses tanggal 1 April 2018).


[1] Djalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15.

[2] Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi proses Demokratisasi, dalam Agama dan Demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994), hlm. 58-59.
[3] Ibid, hlm. 60.
[4] Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hlm. 24.
[5] Miriam Budiarjo,  Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987), hlm. 39-40.
[6] Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 111-114.
[7] Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas Kritis dan Aktif Berwarganegara, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 168.
[8] Ibid, hlm. 183-184.
[9] Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html (Diakses tanggal 1 April 2018).
[10] Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 190-193.

Juni 02, 2018   Posted by Unknown with 8 comments
Read More

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search