Karangan : Seila Nafisa

My First Rain with You

      Nafisa termenung menatap jauh ke luar jendela yang basah oleh gemercik air hujan. Tidak ada seorang pun yang berjalan melintas di luar sana. Hanya keramaian mobil, motor dan kemacetan jalan yang terlihat. Mungkin orang-orang lebih memilih untuk tidur di rumah dan bermanja di bawah selimut hangat mereka daripada harus berjalan ke luar di cuaca sepert ini, pikirnya. Hawa dingin pun menusuk tulang rusuk Nafisa. Dia pun merapatkan jaketnya. Mengusap-usapkan kedua tangannya agar merasa lebih hangat. Dia melihat ke arah jam tangannya. Sudah 30 menit aku menunggu, pikir Nafisa. Padahal menunggu adalah hal yang paling dia benci. Tapi mungkin inilah hukuman baginya. Terlambat atau bahkan hampir melupakan pekerjaannya karena kesalahannya dalam mengingat tanggal.

“Nafisa?” Suara seorang laki-laki mengejutkan lamunannya.
Suara itu terdengar begitu hangat, menghampiri gendang telinga Nafisa yang berdengung hebat karena kedinginan. Nafisa pun segera menoleh ke arah suara itu.
“Nafisa, aren’t you?” tanya laki-laki itu yang berjalan mendekatinya. “Yep, ahh Alex Anderson?” tanya Nafisa pada laki-laki itu.
“Yep, maaf telah membuatmu menunggu begitu lama”, jawabnya masih dalam bahasa inggris. Laki-laki itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Nafisa.
“It’s okay. Ini kesalahan saya karena tidak menjemput kamu tadi siang”, jawab Nafisa sambil menyatukan kedua tangannya ke depan dada untuk membalas uluran tangan laki-laki itu. Laki-laki itu pun sedikit bingung.
“Sorry, inilah caranya wanita muslim berkenalan”, jelas Nafisa.
“Ohh.. okay”, dia pun menarik tangannya kembali. Terlihat sedikit kekecewaan di wajahnya. Namun dia langsung menyembunyikannya dengan senyum bibirnya.


“So, kita akan ke mana hari ini?” tanya Alex pada Nafisa.
“Ohh ya kita akan ke Lawang Sewu dulu. Itu deket dari sini”.
“Okay, tapi maukah kamu menemaniku untuk makan dulu?” tanya Alex pada Nafisa lagi. “Okay”, jawabnya singkat.



      Nafisa terkesiap, saat mengetahui sosok Alex ternyata telah sampai di meja tempat dia duduk. Nafisa pun salah tingkah. Wajahnya terlihat seperti seorang pencuri yang telah tertangkap basah.Nafisa memandangi Alex yang berdiri tepat di depan meja pemesanan yang tak jauh beberapa meter dari tempat duduknya. Alex Anderson… adalah laki-laki bule jangkung berambut coklat-keemasan. Rambutnya terjuntai menyentuh kerah leher. Kacamata bulat yang ia kenakan sangat sesuai dengan bentuk wajahnya yang oval. T-shirt putih dengan outer kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans navy panjang yang dipakainya membuat laki-laki itu terlihat… cukup tampan. Tampan. Kata itu yang tiba-tiba terlintas di pikiran Nafisa. Laki-laki blonde-curly yang entah kenapa sangat familier baginya. Nafisa diam terpaku memandangi Alex.
Dia mirip sekali dengan seseorang. Alex Anderson. Nama itu sama. Sama persis. Tapi aku berharap dia bukanlah kamu. Pikir Nafisa tentang masa lalunya.



“Why?”, tanya Alex pada Nafisa kebingungan. “Ahh nothing”, jawab Nafisa singkat.
“Apa ada sesuatu?” tanya Alex yang nampak kebingungan dengan tingkah Nafisa.
“Ahh, nah. It’s okay” Nafisa tersenyum dan berusaha untuk mengendalikan diri.
“Ohh, okay, ini untuk kamu”, Alex menyodorkan sepiring donut dark chocholate dan segelas hot cappuccino pada Nafisa.
“Ohh thanks” katanya. Sekarang dirinya lah yang bingung. Nafisa memandangi sepiring donut dark chocholate yang ada di hadapannya itu.


Donut dark chocholate? Sekarang apa yang harus aku lakukan dengan ini? Pikirnya. Nafisa benar-benar bingung.
Nafisa melihat ke arah Alex yang mulai melahap sepiring flatbreads smoked-beef pesanannya. Laki-laki itu terlihat sangat lapar. Tapi dia tetap menyantapnya dengan anggun. Karena begitulah cara pria bule menikmati hidangangnnya. Tetap dalam ketenangan. Alex juga terlihat serius dengan ponselnya. Nafisa masih memandangi laki-laki itu. Dan ada satu hal yang membuatnya tidak berhenti memandangi sosok lelaki di hadapannya itu. Terlihat seperti ada bekas luka di alis mata kanannya yang membuat alis itu, seperti tidak menyatu. Sama seperti milik seseorang yang pernah kukenal. Pikirnya.


“Kamu tidak makan?” tanya Alex yang sadar bahwa sedari tadi gadis itu hanya memandanginya.
“Ohh ini. Sebenarnya… saya tidak makan hari ini. Maaf. Saya sedang puasa” jelas Nafisa dengan menyunggingkan senyum di bibirnya pada Alex.
“Puasa? Untuk apa? Ini kan bukan Ramadhan”, tanya Alex yang penasaran.
“Iya, memang bukan. Tidak buat apa-apa sih. Hanya puasa biasa bagi muslim”
“Ohh, interessant[1]”
“Maksud kamu?” tanya Nafisa bingung.
“Ahh nothing. Maksud saya kamu baik” ucap Alex dengan senyum lebarnya. Senyum yang mempesona. Indah. Serta dapat memikat siapa saja yang melihatnya. Dan Nafisa hampir terpesona karenanya.


Kemudian Alex pun mengangkat tangan kanannya untuk memanggil waitress. Seorang waitress pun datang ke meja mereka. “What can I help you?” tanya perempuan itu pada Alex.
“Tolong bungkus donut dan hot cappuccino milik teman saya itu”, jawab Alex tetap dalam bahasa inggris dan menunjuk ke arah Nafisa.
“Baiklah”, waitress itu pun mengambil piring dan gelas yang berada di hadapan Nafisa dan membawanya ke meja pemesanan.
“Kamu bisa membawanya pulang untuk makan buka puasa nanti”, ucap Alex dan menyunggingkan sedikit senyum pada Nafisa. Laki-laki itu pun menyantap kembali makanannya.



   Kemudian Nafisa memandang jauh ke arah luar dan mengalihkan pandangannya dari Alex sambil memainkan jari-jemarinya di atas meja. Tempat duduk mereka berada di sudut ruangan yang berdinding kaca sehingga Nafisa bisa memandang langsung ke arah jalanan perkotaan. Ruangan itu terlihat lengang. Hanya ada beberapa remaja yang mengenakan seragam sekolah sedang bersendau gurau yang mungkin saja mereka sedang menanti hujan reda.
    Nafisa masih tetap memandangi jalanan perkotaan. Memainkan jari-jemarinya di atas meja. Namun ada satu hal yang membuatnya bingung. Dia bisa mendengar suara lain selain suara gemercik air hujan, dan suara yang timbul akibat permainan jemarinya di atas meja. Suara itu membuatnya takut. Suara detak jantungnya. Nafisa menyadari bahwa jantungnya berdegup kencang.
      Apa ini? Bagaimana bisa seperti ini? Pertama namanya. Alis matanya. Kemudian senyumnya. Alex Anderson. Mereka berdua mempunyai kemiripan. Dan kali ini, lelaki-dengan-nama-sama yang sedang duduk di hadapanku saat ini membuat jantungku berdegup kencang. Tidak. Aku tidak ingin salah lagi dalam menempatkan sebuah perasaan. Dia… bukanlah kamu.
Konflik batin di hati Nafisa membuat keheningan di antara mereka berdua. Bahkan Nafisa tidak menyadari bahwa Alex telah menghabiskan makanannya dan bahkan sesekali laki-laki itu memandanginya yang diam. Hening. Bingung. Begitulah perasaan Alex.

“Nafisa?” Alex mencoba membuka pembicaraan dalam keheningan itu. “Nafisa?” tanya lelaki itu sekali lagi dan sedikit mencondongkan badannya ke depan mendekati Nafisa.
“Ahh iya?” jawab Nafisa terkejut. Matanya bertemu dengan mata Alex yang berjarak cukup dekat dengannya.
Alex langsung membenarkan posisi duduknya. “Sorry”, Dia tersenyum. Dan senyum itulah yang membuat Nafisa selalu bertanya. Karena senyum itu mengingatkannya pada sosok di masa lalunya.
“Saya sudah selesai. Dan ini untuk kamu. Ayo kita mulai perjalanan kita”, Ajak Alex yang beranjak dari tempat duduknya dan memberikan bingkisan donut tadi pada Nafisa.
Bahkan Nafisa tidak menyadari kapan bingkisan itu sampai di meja mereka. “Ohh terimakasih Mr. Alex”, Nafisa pun menerima bingkisan itu dan kemudian berdiri menyamai Alex.


      Mereka berdua pun berjalan menuju pintu keluar café. Nafisa berjalan sedikit di belakang Alex. Ada perasaan tidak nyaman di benak Nafisa. Karena setiap dirinya dan Alex berjalan melewati meja pengunjung lainnya, pandangan mereka tertuju pada Alex dan Nafisa. Bahkan Nafisa sempat mendengar seorang gadis berseragam SMA berbisik pada temannya “Apakah mereka pacaran? Kok bisa ya?”. Ingin rasanya Nafisa berteriak dan mengatakan “TIDAK”. Tapi dia memilih untuk tetap berjalan tanpa memperdulikannya.
      Dan sesampainya di pintu café, Alex pun membukakan pintu untuk Nafisa. “Thanks”, kata itulah yang keluar dari bibir Nafisa sebelum dirinya melangkahkan kakinya keluar café dan terus berjalan. Namun langkahnya itu terhenti setelah dia sadar bahwa hujan di luar belum juga reda.
“Wahh hujannya belum reda ya”, ucap Alex yang ternyata telah bediri di samping Nafisa entah dari kapan. “Kata orang, hujan akan selalu memberikan kenangan pada setiap manusia yang berjalan bersamanya”, lanjut Alex yang kembali tersenyum pada Nafisa.
“Tapi yang aku tahu, hujan akan menyebabkan kita sakit jika berjalan bersamanya”, ucap Nafisa menimpali Alex yang menengadahkan telapak tangannya pada tetesan-tetesan hujan.
“Hahaha, benar juga sih. Tapi, ayo kita berjalan bersama hujan. Dan kita lihat, kenangan atau sakitkah yang akan kita dapat nantinya”, tantang Alex yang memandangi Nafisa. Dan dia pun melangkahkan kakinya, berjalan di bawah rintik-rintik hujan.
      Namun Alex menghentikan langkahnya dan berbalik melihat ke arah Nafisa yang masih tetap berdiri di luar cafe. “Come on, Nafisa. Ini hanya rintik-rintik kecil”, ajak Alex pada gadis itu.


Entah bagaimana, ucapan Alex terdengar seperti menyihir Nafisa. Gadis itu pun dengan senang hati melangkahkan kakinya bersama hujan. Padahal dia sangat membenci hujan. Karena dirinya seperti terhipnotis oleh sesuatu yang ada pada diri Alex. Begitu pula Alex adalah laki-laki pertama yang membuatnya berjalan di bawah tetesan hujan.
      Mereka berdua pun berjalan bersama. Dengan langkah yang seirama. Bercengkrama. Dan Nafisa terhanyut pada setiap tetes hujan yang jatuh di tubuhnya.
Juni 02, 2018   Posted by Unknown with 10 comments

10 komentar:

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter

Search