Kelompok VIII
Disusun untuk memenuhi salah satu
tugas
Mata
Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen
Pembimbing : Ali Murtadho, S.Ag., M.H.
Disusun oleh
NOVITA SARI
1702140017
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS
SYARI’AH
HUKUM
TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH SYAR’IYYAH)
TAHUN
2018 M / 1439 H
بسم
الله
الرØمن
الرØيم
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji syukur kita panjatkan kepada
ALLAH SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik. Dan tidak lupa pula shalawat serta salam
selalu tercurahkan kepada keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW
yang membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang-benderang. Adapun
makalah yang akan dibahas yaitu dengan judul “Hubungan Agama Dan Negara”. Penulis menyadari akan banyaknya
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan guna penyempurnaan makalah
ini dan sebagai bahan acuan untuk kedepannya.
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yakni, bapak Ali Murtadho, S.Ag., M.H. atas
ketersediaan menuntut penulis dalam penulisan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang telah ikut berpartisipasi dalam penyusunan dan
pengumpulan data makalah ini. Tanpa bantuan dan dukungan dari teman-teman semua
maka makalah ini tidak akan terselesaikan dengan tepat waktu.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Palangkaraya,
2018
Penulis
|
PENDAHULUAN
Pembahasan
mengenai agama dan negara merupakan hal yang menjadi topik tersendiri bagi
berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan beragama menjadi pilihan bagi
warganya karena hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Namun
dalam menjalankan kehidupan bernegara, menghubungkan antara agama dan negara
menjadi polemik di antara berbagai pihak yang lain.
Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah
mempengaruhi berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra
pertengahan negara berjalan di bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan
telah terjadi pemisahan antara agama dan negara.
Indonesia
yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami permasalahan mengenai
hubungan agama dan negara. Munculnya kaum–kaum yang menuntut pemerintahan Islam
juga menjadi hal yang harus dapat ditangani oleh bangsa ini.
Berdasarkan
latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah, sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Definisi Agama dan Negara?
2.
Apa
Hubungan Agama dan Negara?
3.
Mengapa
Manusia Perlu Agama dan Bernegara?
4.
Bagaimana
Konsep Relasi Agama dan Negara dalam Islam?
5.
Bagaimana
Hubungan Islam dan Negara di Indonesia?
Sesuai
dengan permasalahan diatas, maka tujuan yang dicapai dalam makalah ini sebagai
berikut:
1.
Agar
mengetahui dan memahami Definisi Agama dan Negara.
2.
Agar
mengetahui dan memahami Hubungan Agama dan Negara.
3.
Agar
mengetahui dan memahami Manusia Perlu Agama dan Bernegara.
4.
Agar
mengetahui dan memahami Konsep Relasi Agama dan Negara dalam Islam.
5.
Agar
mengetahui dan memahami Hubungan Islam dan Negara di Indonesia.
Mengingat begitu luasnya
hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas, maka penulisan
membatasi pembahasan ini sesuai dengan materi yang terdapat dalam rumusan
masalah pada makalah ini. Adapun hal yang tidak berhubungan dengan rumusan
masalah diatas penulis tidak uraikan pada makalah ini.
Adapun metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini yakni
dengan metode penelusuran dan pencarian buku-buku yang ada di perpustakaan (library research) dan penelusuran di
internet (web research).
PEMBAHASAN
1. Definisi Agama
Menurut Bahrun
Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis, mengatakan
bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A
(panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa Indo
Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan, cara-cara
sampai kepada keridhaan kepada Tuhan. Selain definisi dan pengertian agama
berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam bahasa Latin disebut Religion,
dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut Religion dan Religious, dan
dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
Dari pendapat
tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-perbedaan pokok dan
luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam bahasa Sansekerta,
dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun
secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu gerakan di
segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa tanggung jawab
batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan, untuk mengangkat prinsip-prinsip
tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan hubungan baik antar anggota
masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk diskriminasi buruk.
Agama adalah
kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia didorong oleh
kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan
cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai
realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib
tersebut.[1]
Eka Darmaputera
mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan sebuah kenyataan manusiawi
yang dapat difungsikan sebagai ideal type. Ketika agama terperangkap kepada
institusionalisme, yakni terjadinya penekanan dan pemusatan kepada
dimensi kelembagaan atau institusional suatu agama, sehingga upaya penguatan
dan pengembangan institusional menjadikan agama semakin kuat, semakin berkuasa,
dengan demikian, maka agama akan mudah sekali terjebak dalam sindrom mayoritas
maupun minoritas.[2]
R.R. Marett,
seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama
itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga,
dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionilnya walaupun
idenya kabur.
J. G. Frazer,
megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan
yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan mengendalikan
jalannya alam dan kehidupan manusia.
Eden Sheffield
Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu bahwa agama merupakan
suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tinggi;
pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu
yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini; dan
sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut baik
dengan cara melakukan upacaraupacara yang simbolis maupun melaui
perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat perseorangan serta yang bersifat
kemasyarakatan.
Harun Nasution
mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang terkandung di
dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang
terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan
suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Beberapa
definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya cakupan agama dan
sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup banyak. Hal ini di
samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli terhadap agama, juga
menunjukkan bahwa merumuskan pengertian agama itu sangat sulit sehingga tidak
cukup satu pengertian saja.[3]
2. Definisi Negara
Istilah negara
merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni state (Inggris), staat
(Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata tersebut berasal dari
bahasa latin status atau statum yang
memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap. Pengertian status
atau station (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan
persekutuan hidup antar manusia yang disebut dengan istilah status republicae.
Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya dikaitkan dengan
kata negara.
Sedangkan
secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara
suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita – cita untuk bersatu, hidup
di suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini
mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki
oleh suatu negara berdaulat, yaitu masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang
berdaulat.[4]
Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :
1) Roger H. Soultau: negara
didefinisikan sebagai agency (alat) atau
authority (wewenang) yang mengatur atau mengendalikan persoalan –
persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2) Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu
masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa
dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau manusia yang hidup
bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan – keinginan mereka bersama.
3) Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat
yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah.[5]
Dari beberapa
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut
dari warga negaranya untuk taat pada
peraturan perundang – undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan
yang sah.[6] Dalam konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk
memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan dan sebagai makhluk sosial.
Berbicara
mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang
menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas
islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di
kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka
hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi 2 :
1.
Hubungan
Agama dan Negara yang bersifat Antagonistik
Maksud
hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan
antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah pada
masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap
sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga
pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi
dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan
pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara
Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Gerakan
nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah
di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa
terkesan dengan kemajuan teknis di Barat.Pada waktu itu pengetahuan agama
sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu
menyelesaikan berbagai persoalan.Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis
mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran
agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.Akibatnya, aktivispolitik
Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945
serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang
secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia,
akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan
dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang
antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit
politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam
Indonesia merdeka.
Upaya untuk
menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara terus
bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada
upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun
1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih
berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan
Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987). Hubungan agama dan negara pada masa
ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam
sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain,
umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi
untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.
2.
Hubungan Agama dan Negara yang
bersifat Akomodatif
Maksud hubungan
akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling
mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik (
M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan
kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika
islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari
yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak
pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara
mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan
semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah
kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat
Islam.Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:
1) Struktura, yaitu dengan
semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke
dalam Negara.
2) Legislatif , misalnya
disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan
Islam.
3) Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya
infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan
“tugas-tugas” keagamaan.
4) Kultural, misalnya
menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan idiom-idiom
perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah
di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami dinamika
dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan
kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan
Islam politik di Indonesia.
Alasan Negara
berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak
dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang
cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur
yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang
sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan
persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan
alasan yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun
terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang
berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi
baru Islam.
Hubungan islam
dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi
akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia
ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam
masalah ideologi Pancasila.[6]
Dewasa ini
sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk dapat mengakhiri hal
tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan beragama yang penuh dengan
perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan mencintai sebagai umat manusia
yang beradab.
Pancasila telah
memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa Indonesia
untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini, negara
memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk suatu agama
dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.
Setiap agama
memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada dasarnya
setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup
berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan
masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan
toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.[7]
1.
Paham
Teokrasi
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama karena
pemerintah. Menurut paham ini dijalankan berdasarkan menurut firman-firman
Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyrakat, bangsa dan negara dilakukan atas
titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham
teokrasi juga sebagai manifestasi Tuhan.
2.
Paham
Sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara.
Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.
Dalam paham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain,
atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua
hal ini, menurut paham sekuler, tidak dapat dipisahkan.
Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya
dianggap sebagai sekuler. Hal ini dikarenakan kebebasan beragama yang hampir
penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa
agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang
muncul dari tradisi keagamaan tetap penting di dalam sebagian dari
negara-negara ini.
Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini kepercayaan
keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami
dunia, dan oleh karena itu dipisahkan dari masalah-masalah pemerintahan dan
pengambilan keputusan.
Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah Ateisme, banyak para
Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh
dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen
penting dalam ideologi Humanisme Sekuler.
Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh sekularisme
dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekularisasi adalah hasil yang
tak terelakkan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada
ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjauh dari agama dan takhayul.
Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai arogan,
mereka membantah bahwa pemerintaan sekuler menciptakan lebih banyak masalah
dari pada menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah
lebih baik. Penentang dari golongan Kristiani juga menunjukkan bahwa negara
Kristen dapat memberi lebih banyak kebebasan beragama daripada yang sekuler.
Seperti contohnya, mereka menukil Norwegia, Islandia, Finlandia, dan Denmark,
yang kesemuanya mempunyai hubungan konstitusional antara gereja dengan negara
namun mereka juga dikenal lebih progresif dan liberal dibandingkan negara tanpa
hubungan seperti itu. Seperti contohnya, Islandia adalah termasuk dari
negara-negara pertama yang melegal kan aborsi, dan pemerintahan Finlandia
menyediakan dana untuk pembangunan masjid.
Namun pendukung dari sekularisme juga menunjukkan bahwa
negara-negara Skandinavia terlepas dari hubungan pemerintahannya dengan agama,
secara sosial adalah termasuk negara yang palng sekuler di dunia, ditunjukkan
dengan rendahnya persentase mereka yang menjunjung kepercayaan beragama.
Komentator modern mengkritik sekularisme dengan mengacaukannya
sebagai sebuah ideologi antiagama, ateis, atau bahkan satanis. Kata Sekularisme
itu sendiri biasanya dimengerti secara peyoratif oleh kalangan konservatif.
Walaupun tujuan utama dari negara sekuler adalah untuk mencapai kenetralan di
dalam agama, beberapa membantah bahwa hal ini juga menekan agama.
Beberapa filsafat politik seperti Marxisme, biasanya mendukung
bahwasanya pengaruh agama di dalam negara dan masyarakat adalah hal yang
negatif. Di dalam negara yang mempunyai kepercayaan seperti itu (seperti negara
Blok Komunis), institusi keagamaan menjadi subjek di bawah negara sekuler.
Kebebasan untuk beribadah dihalang-halangi dan dibatasi, dan ajaran gereja juga
diawasi agar selalu sejalan dengan hukum sekuler atau bahkan filsafat umum yang
resmi. Dalam demokrasi barat, diakui bahwa kebijakan seperti ini melanggar
kebebasan beragama.
Beberapa sekularis menginginkan negara mendorong majunya agama
(seperti pembebasan dari pajak, atau menyediakan dana untuk pendidikan dan
pendermaan) tapi bersikeras agar negara tidak menetapkan sebuah agama sebagai
agama negara, mewajibkan ketaatan beragama atau melegislasikan akaid. Pada
masalah pajak Liberalisme klasik menyatakan bahwa negara tidak dapat
"membebaskan" institusi beragama dari pajak karena pada dasarnya
negara tidak mempunyai kewenangan untuk memajak atau mengatu agama. Hal ini
mencerminkan pandangan bahwa kewenangan duniawi dan kewenangan beragama bekerja
pada ranahnya sendiri-sendiri dan ketka mereka tumpang tindih seperti dalam isu
nilai moral, kedua- duanya tidak boleh mengambil kewenangan namun hendaknya
menawarkan sebuah kerangka yang dengannya masyarakat dapat bekerja tanpa
menundukkan agama di bawah negara atau sebaliknya.
3.
Paham
Komunisme
Paham komunisme memandang hakikat hubungan negara dengan agama
berdasarkan pada filosofi materalisme dialektis dan meterialisme historis.
Paham ini menimbulkan paham atheis, yang berarti tidak bertuhan. Paham yang dipelopori
oleh karl Max ini, memandang agama sebagai candu masyarakat (Marx, dalam Louis
Leahy, 1992). Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama dalam
paham ini, dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan
dirinya sendiri.
Dari beberapa paham di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa
paham sekuler dan komunisme memiliki kesamaan persepsi yaitu pemisahan agama
dengan negara. Bahkan paham komunis meniadakan agama, sebab baginya agama
adalah candu. Paham ini jelas berlawanan dengan paham teokrasi yang menganggap
bahwa agama dan negara tak dapat dipisahkan. Adapun dalam Islam sendiri
terdapat perbedaan pandangan antara penyatuan agama dengan negara serta
pemisahan keduanya.[8]
1.
Manusia
Perlu Beragama
Manusia, secara kodrati menyadari bahwa di luar dirinya ada
kekuatan, dimana manusia dan alam sekitarnya tak kan mampu menandingi kekuatan
itu. Segala sesuatu tidak dapat manusia tentukan sendiri dan mengabulkannya,
tapi mereka berharap pada sesuatu yang pasti akan memberikan peluang harapan.
Pengakuan seperti inilah yang disebut dengan kepercayaan atau iman. Sedangkan
macam kepercayaan maupun agama yang sudah turun menurun dan membudaya membuat
manusia memilih kepada apa atau siapa mereka beriman. Keadaan ini menjadikan
manusia untuk beragama.
Tak dapat dibayangkan jika manusia tidak mengenal agama sama
sekali. Sama artinya dia tidak akan menemukan
kebahagian dan kedamaian hidup, tidak ada aturan dan norma yang
membatasi tingkah laku. Niscaya sulit untuk dibedakan dengan hewan.
Kesimpulannya adalah manusia beragama karena memerlukan sesuatu
dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Dengan agama manusia mendapatkan nilai-nilai moral yang universal
dan hal-hal yang tak dapat dicapainya dengan akal.
2.
Manusia
Perlu Bernegara
Secara terminologi, negara adalah organisasi tertinggi di antara
satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di
wilayah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan dari
definisi oleh Roger H. Soltau, negara tersebut bersama dengan alat atau
wewenang yang mengatur persoalan bersama atas nama rakyat. Oleh sebab itu
bernegara dengan baik menjadi sangat urgen atau mendesak bagi setiap warga
negara.
Manusia sebagai makluk sosial, ia tidak bisa hidup sendiri dan
memerlukan bantuan untuk dapat memenuhi kebutuhannya, baik materi atau
non-materi. Manusia yang sudah begitu banyak jumlahnya, tak bisa dikendalikan
lagi laju perkembangannya, secara tidak langsung menuntut adanya aturan yang
disepakati dan ditaati serta seorang pemimpin. Begitu pula pembagian tugas
sepaya tidak ada tumpang tindih satu sama lain. Selain itu mereka juga
membutuhkan seseorang yang memiliki otoritas guna melakukan tindakan tertentu
jika terjadi sesuatu dengan mereka. Dia juga harus sekaligus mampu menjadi
penengah atas semua konflik yang terjadi. Inilah yang mereka sebut sebagai raja
atau kepala Negara.
Kesimpulannya adalah bahwa manusia tidak dapat hidup dengan teratur,
tertib dan terjamin keamanannya tanpa adanya negara. Karena pada hakikatnya,
dalam komunitas sekecil apapun diperlukan adanya pemimpin dan aturan.
Salah
satu wacana yang terus diperbincangkan dalam ranah filsafat politik Islam
adalah mengenai relasi antara agama dan negara. Secara garis besar paling tidak
ada tiga paradigma pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Pertama,
paradigma sekularistik, yang mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan
negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan.
Kedua, paradigma formalistik, yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang
paripurna, yang mencakup segala-galanya, termasuk masalah negara atau sistem
politik. Ketiga, paradigma substansialistik, yang menolak pendapat bahwa Islam
mencakup segala-galanya dan juga menolak pandangan bahwa Islam hanya mengatur
hubungan antara manusia dan Penciptanya semata.[9]
Silang
perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata kehidupan
sosial-politik, setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia mendapatkan
anugerah kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat aturan dan sistem
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, beberapa pemimpin umat Islam berupaya
mendesakkan syari`at Islam untuk diterapkan. Tuntutan itu pun sempat
terakomodir.
Tapi, tuntutan yang semula terakomodir dengan perkataan… “dengan
kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya… “ yang tertuang
di mukadimah dan pasal 29 UUD 1945 ternyata tidak berlangsung lama. Pada
tanggal 18 Agustus 1945, setelah melewati saat-saat kritis, perkataan itu pun
dicoret. Meski kemudian modifikasi sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu
dapat dikata jadi jalan tengah yang diilhami dari konsep tauhid tapi
wakil-wakil umat Islam masih merasa keberatan dengan formula baru Pancasila.
Usai pemilu
1955, tuntutan untuk memperjuangkan dasar negara Islam seperti mendapatkan
momentum kembali. Sejarah mencatat, sidang Majelis Konstituante di bawah
kepemimpina Ir Soekarno untuk menentukan dasar negara Islam atau pancasila, tak
mencapai keputusan final. Perdebatan sengit selama sidang antara partai-partai
Islam dan pendukung Pancasila dalam
mengokohkan dasar negara menemui
jalan buntu. Selama kurang lebih dua puluh bulan tidak ada kata sepakat. Konstitusi
menemui jalan buntu serius.
Di tengah kebuntuan itu, Soekarno sebagai penguasa yang didukung
militer lalu melakukan intervensi. Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959.
Dengan keluarnya Dekrit Presiden itu, Soekarno membubarkan Konstituante dan
menetapkan kembali UUD 1945 dan menyingkirkan usulan dasar Islam. Tentu, rekam
jejak saat-saat genting perdebatan sidang Majelis Konstituante tentang dasar
negara itu sangat menarik untuk dicermati.
Buku Ahmad Syafi`i Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai
Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam
“perdebatan antara wakil-wakil partai Islam yang menghendaki Islam sebagai
dasar negara dan wakil partai nasionalis yang mendukung Pancasila. Buku
terjemahaan dari desertai penulis di Chicago Universy ini, cukup kompatibel
jadi referensi tentang perdebatan sengit dasar negara Indonesia dalam sidang
Majelis Konstituante.
Dalam Majelis Konstitusi, pada awalnya ada tiga rancangan (draf)
tentang dasar negara yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiga rancangan itu
adalah; Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi (diajukan Partai Murba dan Partai
Buruh). Tetapi, draf Sosial Ekonomi tersebut seperti kehilangan gaung.
Sementara perdebatan sengit dari wakil partai Islam –yang menginginkan Islam
sebagai dasar negara- dan partai nasionalis yang mendukung Pancasila mewarnai
sidang.
Wakil dari
partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai dasar
negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi saat
membangun Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di masa
nabi itu kerap tidak dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang berada
dalam dimensi Islam sejarah. Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur Rahman,
antara Islam cita-cita dan dan Islam sejarah, “Harus ada kaitan positif dan
dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin.”
Umat Islam
Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar dari
mereka di mata Syafi`i masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan
intelektual dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi –sekali pun
tak berhasil— perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di
sidang Majelis Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan
Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami
wakil partai Islam.
Selain merujuk
kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam
sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan
lain-lain. Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu,
wakil-wakil Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak
membangun pilar Islam sebagai dasar negara di bumi Indonesia.
Sayang, konteks Indonesia yang kemudian menjadikan Pancasila
sebagaimana digagas untuk merangkup kebhinnekaan nusantara itu lebih menguat di
bawah tangan Soekarno. Soekarno yang sedari awal memuja sekularisme Turki,
membubarkan Sidang Konstituante yang waktu itu tidak menghasilkan kesepakatan,
sehingga keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan Dekrit itu, Indonesia
mengukuhkan sistem politik baru --dikenal dengan Demokrasi Terpimpin –sehingga
tertutup pintu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Keinginan membumikan negara Islam itu, semata-mata dilatarbelakangi
beban sejarah untuk mengembalikan “harkat dan martabat umat Islam” yang
terpuruk akibat penindasan politik dan ekonomi Barat. Sayang jihad melawan
Barat itu bukan membuat Islam menjadi cemerlang, melainkan justru mendapat
citra yang kian jauh darai kesan damai karena Islam ditengarai agama yang tidak
membawa misi kemanusiaan.[10]
PENUTUP
Menurut
Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis,
mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta;
a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah
bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan,
cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan. Selain definisi dan pengertian
agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam bahasa Latin disebut
Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut Religion dan
Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
Berbicara mengenai hubungan agama
dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas,
penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi karena
persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli.
Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara
dapat digolongkan menjadi 2.
Terdapat
3 faham hubungan agama dan Negara yaitu : Paham Teokrasi, Paham Sekuler, Paham
Komunisme.
Manusia,
secara kodrati menyadari bahwa di luar dirinya ada kekuatan, dimana manusia dan
alam sekitarnya tak kan mampu menandingi kekuatan itu. Segala sesuatu tidak
dapat manusia tentukan sendiri dan mengabulkannya, tapi mereka berharap pada
sesuatu yang pasti akan memberikan peluang harapan. Secara terminologi, negara
adalah organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, hidup di wilayah tertentu, dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat.
Salah
satu wacana yang terus diperbincangkan dalam ranah filsafat politik Islam
adalah mengenai relasi antara agama dan negara. Secara garis besar paling tidak
ada tiga paradigma pemikiran tentang hubungan agama dan negara.
Silang
perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata kehidupan
sosial-politik, setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia mendapatkan
anugerah kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat aturan dan sistem
yang dimiliki oleh
bangsa
Indonesia, beberapa pemimpin umat Islam berupaya mendesakkan syari`at Islam
untuk diterapkan. Tuntutan itu pun sempat terakomodir.
Penulis
menghimbau kepada rekan-rekan sekalian agar mencari lebih luas pembahasan
tentang “Hubungan Agama Dan Negara”,
apabila didalam pembahasan ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam hal
penyampaian secara presentatif maupun secara tekstualis maka penulis memohon
maaf yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan pembaca sekalian.
Dengan terbentuknya makalah ini kami
harap dapat bermanfaat bagi kita semua dan juga dalam kehidupan kita. Kemudian juga
kita dapat mengambil hikmah atas nilai yang terkandung dari pembahasan
tersebut. Dan juga kritik dan saran dari pembaca sekalian untuk menjadi
motivasi bagi kami untuk membuat makalah yang lebih baik kedepannya lagi
apabila diperlukan.
Djalaludin H., Psikologi Agama, Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2004.
Darmaputera, Eka, Agama sebagai
kekuatan Moral bagi proses Demokratisasi, dalam Agama dan Demokrasi,
Jakarta: P3M, 1994.
Rozak, Abdul, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: ICCE UIN
Syarif Hidayatullah, 2006.
Budiarjo, Miriam, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Media, 1987.
Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara,
Yogyakarta: LKIS, 1999.
Heri herdiawanto dan Jumanta
Hamdayama, Cerdas Kritis dan Aktif Berwarganegara, Jakarta: Erlangga,
2010.
Ismatullah, Deddy, dkk, Ilmu
Negara dalam Multi Perspektif, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.
Rahman, Hainur, dkk, Relasi Agama
dan Negara, http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html. (Diakses tanggal 1 April 2018).
[1]
Djalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2004), hlm. 15.
[2]
Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral
bagi proses Demokratisasi, dalam Agama dan Demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994),
hlm. 58-59.
[3]
Ibid, hlm. 60.
[4]
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2006), hlm. 24.
[5]
Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu
Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987), hlm. 39-40.
[6]
Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS,
1999), hlm. 111-114.
[7]
Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas
Kritis dan Aktif Berwarganegara, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 168.
[8]
Ibid, hlm. 183-184.
[9]
Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html (Diakses tanggal 1 April 2018).
[10]
Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi
Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 190-193.